Potret Dunia Pendidikan Daerah Pedalaman ( Bolehkah Kami Mengenal Pendidikan?)

I.
Pada pemerintahan SBY periode 2004-2009, 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan. Saat Bambang Sudibyo menjabat sebagai menteri pendidikan nasional, bisa dibilang, pendidikan di Indonesia mendapat perhatian khusus dan mengalami progress yang cukup bagus. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan membuka sekolah gratis sebagai salah satu usaha untuk menyukseskan program wajar 9 tahun benar-benar menolong rakyat kecil sehingga bisa mengenyam pendidikan. Ironisnya, anggaran yang cukup besar itu seolah-olah hanya difokuskan bagi pendidikan yang berada di kota saja, yang notabene para siswanya adalah dari kalangan menengah. Sedangkan sekolah yang berada di desa dan pedalaman hanya mendapat sisanya. Inilah masalah klasik yang sampai sekarang belum terselesaikan, masalah kesenjangan pendidikan yang terjadi antar kota dengan desa.
Banyak anak usia sekolah di Indonesia yang dengan sangat terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya, bahkan banyak yang sama sekali tidak bisa merasakan belajar di bangku sekolah. Mayoritas dari mereka adalah masyarakat yang tinggal di pedalaman, yang memang sangat minim sarana dan prasarana pendidikannya. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, minimnya jumlah tenaga pendidik (guru), sedikitnya jumlah sekolah, gedung dan bangunan sekolah yang kurang layak, dan tidak adanya fasilitas pendukung proses belajar mengajar. Itulah sebagian kecil dari daftar masalah yang dihadapi dunia pendidikan di pedalam Indonesia. Akibatnya banyak anak Indonesia yang berada di pedalaman tidak dapat mengenyam pendidikan dasar 9 tahun dan bahkan masih buta huruf.

II. KONDISI PENDIDIKAN DI PEDALAMAN INDONESIA

Tidak disetiap desa di pedalaman terdapat sekolah dasar. Kadang hanya ada satu sekolah dasar dalam satu distrik. Para siswa harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk bisa merasakan bangku sekolah. Seperti yang terjadi di pedalaman NTT. Anak-anak harus berjalan selama 1-2 jam melintasi hutan dan bukit yang berjarak hamper 6 km untuk sampai ke sekolah mereka (kompas.com).
Banyak bangunan sekolah yang ada di pedalaman sudah tidak layak pakai. Pada umumnya sekolah-sekolah dibangun pada masa orde baru dalam menyukseskan program SD inpres, saat ini sudah mulai lapuk. Di Kalimantan selatan saja, terdapat 2.952 sekolah yang mulai lapuk karena sejak pertama dibangun belum pernah diperbaiki. Bangunan tersebut rawan terbakar bila musim panas dan rawan ambruk bila diterpa hujan angin. Dari jumlah sekolah itu terdapat 10.442 ruang kelas yang harus direnovasi, dengan rincian 4.403 rusak berat dan 6.039 rusak ringan (kompas, 27 agustus 2009).
Kurangnya tenaga pengajar menambah daftar panjang penderitaan dunia pendidikan di pedalaman. Tenaga pengajar (guru) merupakan komponen terpenting yang harus ada di dalam proses belajar-mengajar (sekolah) selain siswa itu sendiri. Tidak jarang saat siswa sudah semangat datang ke sekolah, mereka harus kecewa karena tidak ada guru yang datang. Distribusi guru antara pedalaman dengan perkotaan memang berbanding terbalik, di perkotaan kelebihan tenaga guru, sedangkan di pedalaman tenaga guru masih sangat kurang. Di pedalaman seorang guru harus mengajar dua atau tiga kelas sekaligus. Seperti yang terjadi di kabupaten Yahukimo-papua, disini terdapat 66 sekolah akan tetapi hanya terdapat 117 orang guru. Itu artinya setiap sekolah hanya mempunyai kurang dari dua orang guru (suara pembaharuan). Umumnya para guru enggan untuk di tempatkan di daerah pedalaman karena medan yang berat dan gaji yang sering terlambat.
Keadaan siswa di sekolah pedalaman sangat jauh berbeda dengan siswa di perkotaan. Potret umum siswa di pedalaman memang sangat memprihatinkan. Umunya mereka hanya mempunyai satu atau dua buku tulis dengan satu pensil atau pulpen yang disimpan dalam tas kresek, mereka tidak memaki sepatu tetapi bersandal jepit atau malah kadang bertelanjang kaki. Seragam pun tidak setiap hari dipakai oleh semua siswa yang datang ke sekolah. Walaupun demikian semangat mereka untuk menimba ilmu di bangku sekolah tak kalah besar jika dibandingkan para pelajar yang ada di kota.


III. AKIBAT KURANGNYA PERHATIAN TERHADAP PENDIDIKAN DI PEDALAMAN

Akibat yang muncul dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi pendidikan di pedalaman Indonesia adalah tingginya angka anak putus sekolah. Bisa dibilang ini adalah salah satu bentuk kurang suksesnya program wajib belajar 9 tahun. Jauhnya jarak tempuh sekolah, tidak adanya tenaga pengajar dan banyaknya anak-anak yang harus membantu pekerjaan orang tua mereka, itulah sebagian besar factor penyebab anak-anak putus sekolah. Anak berusia 7-12 tahun (setara SD) berjumlah 26,3 juta, yang bersekolah 26 juta. usia 13-15 tahun (setara SMP) yang bersekolah hanya sekitar 11 juta dari jumlah total 12,89 juta, sedangkan untuk anak usia 16-18 tahun (usia SMA) yang bersekolah hanya 7,3 juta dan yang tidak bersekolah sekitar 5,5 juta. Sebagian besar dari anak putus sekolah itu terdapat di pedalaman Indonesia (kompas, 11 desember 2009).
Pendidikan dan kesuksesan sepertinya sudah menjadi dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan lagi. Seseorang yang mendapat pendidikan yang bagus akan dengan mudah eraih kesuksesan yang tentu saja akan mengantar mereka pada kemakmuran. Teori ini tentu saja berlaku disemua wilayah termasuk di daerah pedalaman. Kurangnya SDM yang berkualitas didaerah pedalaman secara tidak langsung juga menghambat pembangunan wilayah mereka. Akibatnya, semakin jauh saja kesenjanngan yang muncul antara daerah kota dengan daerah yang berada di pedalaman. Penduduk pedalaman yang mayoritas adalah warga miskin tanpa adanya pendidikan tentu saja akan semakin miskin saja.
Masyarakat pedalaman yang pada umumnya hanya berpendidikan rendah harus siap bersaing dengan para pendatang yang memilki pemikiran dan pengetahuan yang lebih maju dari mereka. Kekayaan daerah yang harusnya digunakan untuk memakmurkan masyarakat sekitar menjadi di eksploitasi oleh para pendatang. Masyarakat local bisa saja menjadi masyarakat kelas dua yang hanya mendapat bagian pada pekerjaan kasar, seperti jadi kuli atau tukang suruh. Bila hal ini terus didiamkan bisa saja menimbulkan kecemburuan social yang akhirnya menyebabkan disintegrasi bangsa.

IV.UPAYA PEMERATAAN PENDIDIKAN DI DAERAH PEDALAMAN

Ada banyak cara untuk mengurangi angka putus sekolah dan pemberantasan buta huruf di daerah terpencil. Yaitu dengan memajukan pendidikan dan upaya pemerataan pendidikan. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi kesenjangan pendidikan antara kota dan daerah ini pada tahun 2007 dengan mengeluarkan kebijakan pembangunan pendidikan yang mencakup (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan (3) pemantapan good govermance. Kebijakan itu diarahkan untuk mengupayakan perluasan dean pemerataan untuk memperoleh pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti telah disebutkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 (TAP MPR No. IV/MPR/1999) yang berbunyi “mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti”.
Pemerintah hendaknya mempunyai komitmen untuk mendistribusikan bantuan pendidikan (Imbal Swadaya, Block Grant, dll) kepada sekolah sesuai dengan kuintasi yang dicairkan dan jangan sampai bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhenti di tingkat birokrasi. Pemerintah memberikan reward yang menarik agar memotivasi para guru yang profesional untuk dapat mengaar di daerah-daerah terpencil. Selain itu kesejahteraan guru yang mengajar di daerah pedalaman juga harus diperhatikan, mungkin lebih baik kalau mereka didirikan rumah tinggal dekat dengan sekolah tempat mereka mengajar sehingga jarak tempuhnya tidak terklalu jauh.
Pendirian sekolah satu atap merupakan inisiasi yang baik untuk melakukan pemerataan pendidikan di daerah pedalaman terutama yang berbentuk kepulauan. Program Sekolah Satu Atap terdiri dari SD dan SMP, sehingga daerah-daerah kepulauan atau pedalaman yang belum memiliki sekolah tersebut, tidak perlu lagi ke daerah lain untuk mengenyam pendidikan. Sekolah Satu Atap dapat menjadi solusi peningkatan mutu pendidikan, terutama sekolah-sekolah yang mengalami kekurangan guru, seperti terjadi dibeberapa daerah pedalaman. Selain itu masuknya LSM dan keinginan perseorangan untuk mendirikan sekolah rintisan atau sekedar mengajar membaca, menulis dan menghitung dapat membantu mengatasi masalah pendidikan di daerah pedalaman.

V. Potret Suram Pendidikan daerah Pedalaman Papua

Oleh Odeodata H. Julia (pendidikanpapua.blogspot.com)

WAMENA - Sekelompok bocah bertelanjang kaki menyambut kedatangan kami dengan riang dan senyum polos. Pakaian yang dikenakan pun seadanya.

“Sudah pulang sekolah kha,” tanya kami. “Sudah,” jawab mereka kompak. Umur mereka sekitar lima enam tahun. Di antara bocah-bocah prasekolah itu ada juga anak-anak usia bangku sekolah dasar. Kemudian dengan bangganya mereka mengantar kami naik ke sebuah bukit kecil untuk melihat tempat belajar mereka.

Namanya Sekolah Belajar Anak (SBA). Kalau di kota besar menyebutnya play group. Bentuknya mirip sebuah honay (rumah adat Wamena). Namun, tidak seperti play group di perkotaan yang lengkap dengan sarana permainan plus alat-alat kegiatan belajar-mengajarnya.

Tetapi, di SBA semuanya serbaminim. Selusin spidol satu per satu dibagikan oleh sang guru untuk dipakai bersama-sama. Kertas tulisnya pun hanya sebuah karton manila yang digunting. Tidak ada buku tulis yang dipakai untuk mereka.

Sebenarnya ada sebuah white board hasil pembagian, tetapi sudah hilang entah ke mana. Sarana bermain pun hanya sebuah prosotan sederhana yang terbuat dari kayu.
Terletak di Kampung Wetlangko Distrik Kurulu, SBA ini memang diperuntukkan anak-anak usia 5 tahun. Uniknya sekolah yang didirikan Wahana Visi Indonesia (WVI) ADP (Area Development Program) Kurulu sejak 2007 itu juga sering dipenuhi anak-anak SD kelas I dan II.

“Mereka anak-anak kelas I dan II. Tetapi karena sekolah mereka di SD Inpres Wedangku jauh dari kampung, jadi mereka sering datang belajar di sini. Guru mereka juga jarang masuk mengajar,” ujar Hengky Kombo, satu-satunya guru di SBA ini.

Hengky sebenarnya bukanlah seorang guru. Ia tamatan sekolah Alkitab. Tetapi, karena didorong rasa ingin memajukan pendidikan di daerahnya, ia sukarela ikut membantu.
Lain lagi cerita ini. Saat berada di Kota Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, kami bertemu dengan sekelompok anak-anak usia sekolah yang keluyuran saat jam sekolah. Kepada kami mereka mengaku masih SD. Tetapi saat ditanya kenapa tidak sekolah, jawabannya sungguh mengagetkan. “Untuk apa sekolah, bu guru saja tra pernah masuk,” ujar mereka dengan nada santai bahkan seolah-olah menertawakan pertanyaan saya.

Lain kisah Otinus Komba dan Peres Asso asal Kampung Anggruk, Kabupaten Yahukimo Papua. Moto kejarlah ilmu sampai ke negeri China, sepertinya cocok buat keduanya.
Kedua anak usia 11 tahun ini rela berjalan kaki selama tiga hari tiga malam untuk sampai ke Kampung Maima, Distrik Kurima Kabupaten Jayawijaya sekadar dapat bersekolah di Elementary School Advent atau SD Advent Maima.

“Kita dengan bapak misionaris jalan kaki. Kitong (kita) ada tujuh orang jalan kaki semua. Kalau malam, kita tidur di gua-gua. Trus makannya sudah bawa dari rumah. Tapi tong (kami) juga masak di jalan,” cerita keduanya.

Otinus dan Peres mengaku sebenarnya di tempat mereka ada sebuah SD, tetapi lagi-lagi gurunya yang tidak pernah ada. “Ibu guru ke Wamena, jadi di sekolah tidak ada guru,” ujarnya.

Karena sekolah mereka jauh dari rumah, kedua bocah lugu ini tinggal di asrama yang disediakan sekolah.Itulah potret suram pendidikan di pedalaman Papua. Hampir semua muridnya mengadu kalau guru mereka tak pernah masuk sekolah. Para guru lebih memilih ke kota daripada mengajar di pedalaman terpencil.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer