Sisi Lain Wajah Indonesia ( Kehidupan Suku Badui)

I.
BILA berkaca pada maraknya penebangan hutan tanpa penanaman kembali, atau
taman kota yang kehilangan fungsi sebagai daerah serapan, mungkin kita
harus belajar dari suku Baduy bagaimana alam ini dilestarikan. Berladang
adalah pekerjaan utama suku yang menempati 53 kampung di Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini terletak sekitar
120 kilometer arah barat daya Jakarta.
BADUY dibagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Secara garis
besar, adat yang dipegang Baduy Dalam dan Baduy Luar sama. Perbedaan
terletak pada penerapan sehari-hari.
Udara di kampung Baduy tergolong bersih dan segar. Salah satunya karena
suku Baduy pantang menggunakan alat transportasi, karena itu asap dari
knalpot pun tidak dijumpai di kampung ini.
Perjalanan di dalam kampung hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Adat
yang dipegang oleh suku Baduy Dalam melarang sama sekali warganya untuk
memakai alat transportasi ke mana pun mereka pergi.
Bila ke kota lain, seperti Bogor atau Jakarta, mereka tetap harus berjalan
kaki. Sedangkan Baduy Luar boleh memakai jasa transportasi di luar kampung,
tetapi tidak boleh memiliki kendaraan pribadi.
Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang puun (tetua adat). Puun
bertanggung jawab menjaga adat Baduy agar tidak berubah.

II. Suku Badui Sebagai Sahabat Alam.

KEHIDUPAN suku Baduy memiliki ketergantungan besar terhadap alam.
Ketergantungan ini diimbangi dengan menjaga alam dari kerusakan. Tanah di
Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu sebagai lahan perladangan,
permukiman, serta hutan lindung.

a. Perladangan
Perladangan yang diterapkan di Baduy berpindah-pindah. Setiap tahun panen
padi hanya satu kali saja. Lamanya masa tanam padi lima sampai enam bulan.
Tanah yang ditinggal pergi oleh seorang peladang harus didiamkan dulu
sebelum dijadikan lahan oleh warga lain agar kesuburannya terjaga. Jeda
waktu sebelum tanah bisa ditanam lagi semakin singkat.
Sekitar 10 tahun lalu tanah diistirahatkan sekitar 10 tahun, sekarang hanya
didiamkan tiga sampai lima tahun. Siklus yang semakin cepat ini dipicu oleh
pertambahan jumlah penduduk Baduy. Efeknya tentu tampak pada kualitas dan
kuantitas produksi padi.
Perpindahan ladang umumnya dilakukan setelah satu sampai dua kali panen,
meskipun ada juga warga yang baru pindah ladang setelah empat kali panen.
Hasil panen di tanah yang sama akan terus menurun setiap tahun.
Setiap kali membuka ladang baru, ada tiga pekerjaan yang dilakukan, yaitu
memangkas tumbuhan yang ada di situ, membakar tumbuhan, dan membersihkan
tanah dari benda-benda yang mengganggu perladangan. Tanah tidak dibajak
demi menjaga kekuatan tanah di tanah Baduy.
Setelah tanah siap, dimulailah tanam padi atau yang dikenal dengan nama
ngaseuk. Sebelum mulai menanam padi, suku Baduy mengadakan upacara untuk
memuji Dewi Sri, yang dikenal sebagai dewi padi, agar melindungi tanah mereka.
Pengairan ladang dilakukan tanpa irigasi dan hanya mengandalkan hujan. Masa
tanam padi sengaja dipilih pada awal musim hujan atau sekitar bulan
Oktober. Ladang tidak mendapatkan pengairan untuk menjaga kebersihan air.
Warga Baduy, terlebih Baduy Dalam, tidak menggunakan obat-obatan kimia
selama berladang. Adapun Baduy Luar sudah mengenal pestisida. Di Baduy
Dalam, pemberantasan hama dilakukan dengan membacakan mantra-mantra. Hama
pun jarang menyerang ladang.
Alat pertanian yang digunakan di Baduy tergolong sederhana. Koret (arit),
kayu untuk membuat lubang tempat benih, serta etem (ani-ani) adalah
alat-alat yang digunakan dalam perladangan masyarakat Baduy. Mereka tidak
boleh membajak tanah dengan hewan atau traktor dengan alasan akan merusak
kesuburan tanah. HASIL panen ladang di Baduy terutama padi. Padi ini disimpan di
lumbung-lumbung dan bisa bertahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun!
Setiap keluarga mempunyai lumbung masing-masing. Jumlah lumbung yang
dimiliki tiap keluarga tidak sama. Ada yang hanya memiliki satu lumbung,
tapi ada juga yang punya 10 lumbung.
Padi dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan warga Baduy. Adat juga
mengatur bahwa padi yang dihasilkan suku Baduy tidak boleh
diperjualbelikan, baik di dalam ataupun di luar Baduy.
Padi hanya boleh diberikan secara gratis. Bila ada warga yang gagal panen
atau kekurangan beras, warga lain membantu mencukupi kebutuhan beras mereka
yang tertimpa musibah.
Berkurangnya produksi padi sejak sekitar empat tahun lalu mendorong warga
Baduy untuk membeli beras dari luar Baduy. Pembelian beras ini dilakukan
untuk mencegah kekurangan stok beras mereka.



b. Hutan Lindung
Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung. Hutan lindung
berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh
ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang.
"Tidak. Tidak boleh ngapa-ngapain hutan. Ini sudah adat kami," ungkap
Jakri. Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air
di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.


Lewat sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam,
suku Baduy terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan
alam. Semoga saja, adat mereka tidak serta-merta berubah akibat pengaruh
dari luar yang menyerbu suku Baduy dari berbagai penjuru.

"Jika Suku Badui Yang Hidup Jauh dari peradaban teknologi saja bisa menghargai dan melestarikan alam, kenapa kita tidak???"



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer