Cinta ‘Tak Semanis Kelapa Moka


Cinta ‘Tak Semanis Kelapa Moka

“Selamat siang. Selamat datang di resto kami.” Pegawai restaurant yang mengenakan seragam berwarna merah begitu hangat menyambut para tamu termasuk Nadia.
“Saya mau meja yang dekat pinggir pantai, bisa?”
“Untuk berapa orang?”
“Dua!”
“Sebentar saya lihat dulu.” Pelayan yang bernama Imron memberi kode kepada temannya untuk memeriksa, apakah tempat yang diinginkan Nadia masih tersedia.
“Mari. Ikut saya.”
“Mau langsung pesan? Kami ada menu...”
“Pesannya nanti aja!” belum sempat Imron menjelaskan nadia sudah memotong penjelasannya.
Setengah jam berlalu.
Nadia masih sendiri. Belum satupun menu ia pesan. Ia sibuk menghubungi seseorang melalui ponsel.
“Maaf mbak. Sudah mau pesan?” kali ini pelayan bernama Meta yang menghampiri.
“Es kelapa moka.”
“Baik. Tunggu sebentar.”
Minuman pesanannya tiba. Nadia masih sibuk dengan ponselnya.  Kali ini raut wajahnya sedikit berubah. Gurat-gurat kecewa mulai terlihat.
Hampir satu jam nadia disana. Seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang.  Kelapa moka kini hanya tinggal sebuah gelas kosong.
Tidak lama kemudian Nadia meninggalkan resto dengan raut wajah sedih dan kecewa.
Keesokan harinya.
Ditempat yang sama dan waktu yang sama. Nadia kembali mengunjungi resto yang terletak di pinggir pantai itu. Nadia yang hari itu mengenakan kaos berwarna biru muda dan rok berwarna putih, terlihat sangat cantik.
“Saya mau meja dekat pinggir pantai.”
“Mari. Saya antar.”
“Silahkan. Mau pesan apa?”
 “Es kelapa moka satu.”
“Baik. Tunggu sebentar yah.”
Rasa manis dan segarnya es kelapa moka ditambah pemandangan laut yang indah seakan mengobati sedikit kekecewaannya. Terdengar lagu Diamond milik Rihanna. Ponsel Nadia bordering. Lumayan lama ia berbicara di telepon.
Setengah jam kemudian Nadia menyudahi perbincangannya. Raut wajah kecewa kembali hadir. Kali ini ditambah dengan tetesan air mata. Nadia menangis. Dengan tergesa Ia meninggalkan resto.
Hari ketiga.
Nadia kembali datang di restaurant Buana Beach. Kali ini dengan waktu yang lebih telat dari biasanya. Selepas magrib Ia baru tiba. Kemeja merah dengan celana hitam menjadi pakaian pilihan nadia kala itu. Nadia kembali memesan tempat yang biasa dan menu yang biasa. Seakan tidak ada yang berubah kecuali warna dan model pakaian yang Ia kenakan.
“Gw perhatiin tuh cewek udah beberapa hari ini kesini mulu deh.” ujar Imron sambil melihat ke arah meja Nadia.
“Bagus dong. Berarti Dia pelanggan setia.” Deva mengomentari.
“Gw perhatiin. Dia kalo pulang dari sini pasti mukanya sedih.”
“Lo kebanyakan merhatiin orang! Kerja kerja!” Deva menjitak Imron. Wajah Imron manyun oleh komentar Deva.
“Va, lagi sibuk, gak?”
“Gak juga, nis.”
“Bantu gw anter pesanan meja tujuh dong. Gw mau beresin pecahan gelas dilantai dua.”
Deva mengambil nampan berisi es kelapa moka pesanan Nadia.
“Permisi. Ini minumannya.” Deva tersenyum ramah.
“Makasih!” jawab Nadia singkat.
“Suka es kelapa moka ya, mbak?” Nadia melihat Deva dan kemudian mengangguk.
Diam-diam Deva juga suka memperhatikan Nadia. Wanita berparas cantik itu memang mampu mencuri perhatian orang di sekitarnya.
Pukul delapan malam.
Nadia masih dan selalu sendiri. Kursi dihadapannya seakan dibiarkan kosong. Nadia masih dengan ponselnya. Ia mencoba menghubungi seseorang tetapi tidak mendapat jawaban. Ia pergi dengan wajah yang kecewa.
Pukul sepuluh malam.
Resto telah tutup. Meja dan kursi telah diangkat dan dirapihkan. Karyawan bersiap pulang.
“Deva. Pulang sendiri yah? Mau dong bareng.” Tiwi menggoda.
Deva tidak menjawab. Ia hanya melemparkan senyuman. Ia sudah terbiasa digoda seperti itu. Wajahnya yang imut dan kulitnya yang putih memang menjadi perbincangan dikalangan karyawan wanita.
“Kamu pulang sama aku aja, Wi.” Imron gak mau kalah saing.
“Emooooohhhhhhhhh!”
Deva mengendarai motornya dengan perlahan. Ia merasakan kantuk yang luar biasa. Ketika akan keluar arena pantai timur, Ia melihat seorang wanita tengah duduk di ayunan pinggir pantai. Seseorang yang sepertinya Ia kenal.
“Belum pulang? Udah malem.”
Wanita tersebut adalah Nadia. Nadia terkejut mendapati pelayan resto kini berdiri disampingnya.
“Lo sendiri kenapa gak pulang? Kenapa malah berdiri disini?” ujar Nadia ketus.
“Gak baik malem-malem sendirian disini.”
Nadia terdiam. Ia menatap Deva sesaat kemudian berlalu menuju mobilnya meninggalkan Deva sendiri.
Dipandanginya Nadia. Deva seperti mampu merasakan yang apa dirasakan oleh Nadia. Meski Ia tak tahu itu apa.
Keesokan harinya.
“Ron, cewek yang suka duduk disitu kemana, ya? Biasanya jam segini Dia udah dateng.”
“Ah, lo kebanyakan merhatiin orang. Kerja sono!” Imron membalas perkataan Deva waktu itu.
Lima hari berselang Nadia tak kunjung datang. Sejak malam itu Deva mengkhawatirkan keadaan Nadia. Walaupun Ia tak mengenalnya.
“Va, tadi cewekmu dateng.” Imron membuka obrolan.
“Hah? Siapa?”
“Ih, itu si kelapa moka. Tadi pagi Dia kesini.”
“Tadi pas gw beresin meja, gw nemuin ini.” Imron menyerahkan dompet kulit berwarna cokelat.
“Kamu aja yang balikin. Gw ora pede ketemu cewek cantik sendirian. Didalem dompet ada alamatnya, kok.”
Hari jumat Deva mendapat jatah libur. Ia berniat mengembalikan dompet Nadia yang tertinggal.
Pukul sepuluh pagi Deva sudah tiba di alamat yang tertera. Sebuah komplek apartement mewah ternyata. Berbekal tanya ke satpam. Deva sampai di depan pintu apartement Nadia yang berada di lantai tujuh.
Berkali-kali Ia memencet bel, tetapi tak ada satu orangpun yang membukakan pintu. Satu jam Deva menunggu. Ia memutuskan pulang dan menitipkan dompet tersebut kepada satpam.
Pukul delapan malam.
“Mbak Nadia. Ini ada titipan.”
“Darimana, Pak?”
“Katanya dari pelayan resto ayunan pantai.”
Nadia sempat berpikir. Namun, akhirnya Ia tahu siapa yang dimaksud.
Nadia benar-benar tidak pernah muncul lagi. Deva berharap Nadia datang untuk berterima kasih. Tapi ternyata....
Lima bulan berlalu.
“Permisi. Saya bisa ketemu sama pegawai yang waktu itu ngembaliin dompet saya?”
“Siapa yah?”
“Pegawai yang lima bulan lalu nemuin dompet ini.” Nadia menunjukkan dompetnya.
“Maaf. Saya gak tau, mbak.”
Nadia mencari sosok Deva di dalam resto. Namun, Ia tidak melihatnya.
“Mbak. Tunggu!”
Nadia menoleh.
“Mbak, si kelapa moka kan?”
Nadia mengernyitkan dahi.
“Eh, maaf. Mbak yang suka kesini pesen kelapa moka beberapa bulan yang lalu, kan?”
“Mbak, cari Deva yah? Dia yang ngembaliin dompet mbak waktu itu.”
Imron memberitahukan Deva kini sudah tidak lagi bekerja di resto. Sebulan lalu Ia dipecat karena terlibat perkelahian ketika ingin melerai pengunjung yang berkelahi. Pengunjung tersebut tidak terima dan meminta Deva dipecat.
“Mbak ke alamat ini aja. Dia tinggal disini.” Imron memberikan secarik kertas.
“Permisi.” Nadia mengetok pintu sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana.
“Iya. Sebentar.” terdengar jawaban dari dalam rumah.
Pintu rumah terbuka.
“Kamu????!” Deva tercengang ketika di hadapannya berdiri wanita yang selama lima bulan ini Ia tunggu kehadirannya.
“Hey. Apa kabar? Ehm, mungkin ini udah telat banget. Tapi, gw mau ngucapin makasih soal dompet waktu itu.”
“Iya. Resto hampir aja tutup karena es kelapa moka udah gak ada yang pesen lagi.” Mereka tertawa. Deva mengamati Nadia. Ia seperti merasakan rindu terhadap wanita berambut panjang ini.
“Kok gak pernah ke resto lagi?”
“Maaf. Gw harus pulang!” Nadia menghindar.
Seminggu kemudian.
Deva mencoba menemui Nadia di apartementnya.
“Permisi.”
“Lo? Ada perlu apa kesini?”
“Kayanya gw udah bilang makasih kan waktu itu?”
Belum sempat Deva menjawab terdengar suara tangisan bayi. Deva tetap sabar menunggu di depan pintu. Ia ingin sekali masuk. Namun, adat kesopanan membuatnya enggan melakukan hal tersebut.
“Lo masih disini? Ayo masuk deh!”
Nadia mempersilahkan Deva duduk. Mereka duduk berhadapan. Suasana bisu dan hening sempat tercipta.
“Tadi itu anak gw. Usianya baru sebulan.”
“Maaf. Saya gak tau kalo kamu udah nikah.”
“Enggak pernah ada pernikahan.”
Raven adalah pria yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Raven berjanji menemui Nadia. Namun akhirnya Ia menolak bertemu dan menikahi Nadia. Raven yang berkebangsaan Belgia melarikan diri dan menghilang begitu saja. Bayi perempuan Nadia yang terlahir premature tersebut diberi nama Vey.
Deva terdiam. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Deva merasa simpati.
Beberapa kali Deva mengunjungi Nadia dan Vey. Ia pernah membawakan Vey sebuah boneka sapi yang sangat besar. Tidak hanya boneka dan benda lainnya. Deva juga memberikan perhatiannya kepada Vey dan tidak ketinggalan Nadia.
Dua bulan berselang. Perasaan Deva kian campur aduk. Ia semakin tidak bisa menepis perasaanya. Lebih dari simpati dan Deva tahu benar akan hal itu. Namun, bagaimanakah dengan Della? Sebenarnya Deva telah memiliki seorang kekasih. Sudah enam bulan hubungan tersebut terjalin. Setelah melalui berbagai pertimbangan, Deva memutuskan hubungannya dengan Della. Deva meyakini perasaan yang Ia punya hanya untuk Nadia.
“Nad, aku mau ngomong.”
“Mau ngomong apa? Serius banget?” Nadia tersenyum.
“Aku emang mau serius sama kamu. Aku cinta sama kamu, Nad.”
“Jangan becanda deh Deva.”
Deva meraih tangan Nadia.
“Aku gak lagi becanda. Aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali liat kamu di resto. Senyum kamu, es kelapa moka dan semua hal tentang kamu, gak bisa sedikitpun hilang dari kepala aku.”
Deva kini berlutut.
“Aku terima kamu apa adanya. Aku gak peduli masa lalu kamu. Aku cinta kamu tulus, Nad.”
Apa yang baru saja dikatakan Deva membuat Nadia terenyuh.
“Maaf. Aku... Aku gak bisa, Va.”
“Kamu memang buat aku nyaman. Kamu pria yang baik. Tapi maaf, ada orang lain yang lebih dulu hadir sebelum kamu dan aku udah pilih Dia.”
Deva menangis.
“Kalo waktu bisa diputar. Seandainya kamu bisa datang lebih cepat, mungkin semua berbeda.”
“Sekali lagi maaf.”
Deva melepaskan genggamannya. Ia tertunduk lemas.
















Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer