Cerita Cinta
Naya
“Tuhan memang
satu. Kita yang tak sama...” Penggalan lagu milik Marcel yang berjudul Peri
Cintaku samar-samar mengalun indah di kamar Naya.
“Galau lagi?”
“Kak, lo bisa gak sih masuk kamar gw ketok dulu?!”
Naya buru-buru merapihkan tisu yang berserakan dikasur. Matanya terlihat
sembab.
“Lo gak ada kerjaan lain yah selain ngegalau
gara-gara Billy?”
“Diem deh!” Naya melempar bantal ke arah Arni.
“Dipanggil mama, tuh. Lo disuruh sarapan.”
“Gw gak laper!” Naya tegas menjawab.
“Ceileh. Mogok makan nih ceritanya? Kalo tiap
ngambek lo mogok makan gini, mama bisa ngirit beras, tuh.” Arni tertawa geli.
“Rese lo, Kak! Keluar sana, ah. Gw mau sendiri!”
Naya segera mengunci pintu kamarnya. Lagu milik Marcel yang menjadi lagu
kebangsaan Naya, terdengar semakin kencang.
Setelah hampir semalaman Naya berdiam diri
dikamarnya. Akhirnya Ia keluar juga.
“Eh, keluar juga toh. Gw kira mau ngerem sampai
besok.”
“Kok sepi? Mama kemana, Kak?”
“Makanya jangan ngambek mulu. Mama lagi ke rumah
tante Emma.”
“Bagus deh. Gw mau keluar sama Billy.”
“Belum juga damai udah ngajak perang lagi.”
“Bodo! Gw jalan yah, sayang.” Naya mencubit pipi
kakaknya yang tengah asyik menonton dvd.
“Semalem rebut lagi sama Mama?”
Naya mengangguk. Mulutnya penuh dengan nasi dan
bebek goreng kesukaannya. Akibat ngambek semalam, Naya terpaksa mogok makan.
Kini cacing dalam perutnya mulai berontak.
“Aku bilang juga apa. Kamu sih ngotot aku suruh
ngomong sama Mama.”
“Terus ini kamu bisa keluar gimana caranya?”
“Mama lagi ke rumah tante Emma. Dirumah cuma ada Kak
Arni.”
“Cepet abisin makanannya! Terus kita pulang!” Billy
sedikit membentak.
“Kamu kenapa sih ditekuk gitu mukanya? Udah gitu
diem aja dari tadi keluar mol.”
“Tanya aja sama Mama kamu.”
“Kok jadi nyalahin Mama?”
“Naya stop! Aku capek bahas ini terus!”
Sepanjang jalan Billy tetap membisu. Wajahnya tampak
begitu kesal.
Sesampainya dirumah. Arni masih sibuk menonton dvd
yang ia sewa cukup banyak sepulang kerja kemarin.
“Kak, lo bantuin gw dong ngomong ke Mama.”
“Gw harus ngomong apaan? Lo kaya gak tau Mama aja.
Mama itu keras.”
“Ngomong soal Billy. Gw heran deh kenapa sih Mama
jadi lebay gitu tentang hubungan gw sama Billy?”
“Karena lo sekarang udah gede.” Arni lalu mengambil
toples berisi kue kacang.
“Tapi, gw sama Billy udah lama pacaran. Udah mau
tujuh tahun loh, Kak.”
“Gw ngerti. Tapi, kan lo juga tau ada hal yang gak
bisa dipaksain dari hubungan lo sama dia.”
Naya diam. Ia seakan mati kutu kalau sudah membahas
hubungannya dengan Billy. Naya menjalin hubungan ketika mereka masih sama-sama
berseragam putih-biru. Meski tidak semulus jalan tol dan putus nyambung
berkali-kali, Naya tetap tidak rela dunia-akhirat kalau harus disuruh putus
dari Billy. Perbedaan keyakinan menjadi masalah utama dalam hubungan mereka.
“Naya. Ayo, Sarapan.” Suara Mama terdengar dari
bawah.
“Naya sarapan dikampus aja.” Naya mencium pipi Mama
dan kakaknya lalu berangkat kuliah.
“Masih ngambek dia rupanya?”
Arni mengangkat bahu.
Siang itu matahari begitu terik. Dengan langkah
lungai Naya tiba dirumah.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam. Tumben kamu udah pulang?”
Naya tidak menjawab.
“Naya. Sini sebentar, Nak. Mama mau ngomong.”
“Kamu masih ingat Echa? Ternyata sekarang dia kerja
di kantor om Bram. Kapan-kapan kalian ketemu, yah?”
Naya menangkap tanda-tanda perjodohonan terselubung
dalam pembicaraan ini.
Hari minggu. Hari dimana Mama, Arni dan Naya lengkap
berada dirumah.
“Ada acara apaan, Nay? Kok banyak banget makanan?
Tumben tuh meja depan dikasih taplak?”
“Gak tau. Obama mau mampir kali.” Naya sibuk
memencet remote tv.
“Haduh-haduh. Ini anak kok udah jam segini masih
pada piyamaan? Bukannya pada mandi malah ngerubung disini, sih?”
“Ada apaan sih, Ma?” Arni penasaran.
“Surprise. Kalian mandi terus dandan yang cantik,
yah.”
“Nay, gw curiga Mama lagi naksir orang deh.” Arni
semakin penasaran.
Jam dua siang. Tamu yang dinanti-nanti Mama pun
tiba. Arni dan Naya terkejut. Ternyata tamu istimewa hari itu adalah Echa dan
keluarganya.
“Kapan-kapan main lagi kesini. Ajak Naya
jalan-jalan.” Mama mengakhiri perbincangan sebelum Echa dan keluarga pulang.
“Kok lo gak bilang mau dijodohin sama Echa?”
“Tau, ah!” Naya cemberut.
“Kalo lo gak mau, buat gw aja. Gak apa-apa deh gw ma
brondong. Ganteng. Mapan pula.” Pipi Arni merah merona.
Singkat cerita usaha perjodohan Naya dan Echa gagal.
Naya menolak setiap kali Echa mengajaknya jalan. Bahkan ia sering sembunyi,
jika Echa mampir ke rumah. Justru Arni kini yang terlihat dekat dengan Echa.
“Kak, kemarin gw ketemu Agung. Terus dia lagi pdkt
nih sama gw.”
“Agung siapa? Agung Hercules?” Arni cekikikan
sendiri.
“Ishh. Itu loh Agung kakak kelas gw waktu di SMA.
Dulu dia pernah bilang suka sama gw. Eh dia malah pindah sekolah.”
“Yaudah terima aja kalo dia nembak lagi.”
“Billy mau gw kemanain?”
“Kasih kucing!”
Kini Naya punya kegiatan baru. Selain jalan sama
Billy. Diam-diam Naya sering ketemuan sama Agung. Berbeda kampus dengan Billy,
memudahkan Naya untuk menemui Agung.
“Kak, tadi agung bilang sayang sama gw.”
“Paling juga ujungnya lo tolak. Sama nasibnya kaya
cowok-cowok lain yang pernah pdkt ma lo.”
“Eh, gak juga kok.”
“Lo mau terima? Terus lo mau putus sama Billy?”
“Gak juga. Gw gak putusin Billy. Gw gak terima
Agung. Adil, kan?”
“Lo mau dua-duanya? Serakah!!!”
Keesokan harinya.
“Jawaban kamu gimana, Nay?” cowok berlesung pipi ini
meminta jawaban atas pernyataannya kemarin.
“Aku belum bisa jawab. Kamu tau kan aku sama Billy
gimana? Aku butuh waktu yang tepat.”
“Aku akan tunggu sampai kamu siap ngelepas Billy.”
Sebuah ciuman hangat mendarat di kening Naya.
Sebenarnya Naya juga punya perasaan yang sama
tehadap Agung. Namun, ia masih ragu harus memilih siapa. Meski Billy posesive, sok ngatur, egois dan
cemburuan, Naya tetap gak rela ngelepasnya. Berbeda dengan Billy, Agung lebih
pengertian dan membebaskan naya berteman dengan siapapun. Agung juga selalu
mendukung apapun yang Naya lakukan. Agung termasuk laki-laki yang cerdas. Dan
yang paling penting adalah ia seiman dengan Naya.
Setahun kemudian. Naya masih dengan perasaan
bimbangnya. Kali ini ditambah dengan rasa bersalah.
Dua bulan lalu, Agung kembali menanyakan kepastian
hubungannya dengan Naya. Naya masih dengan jawaban yang sama dan menggantungkan
hubungan dan perasaanya dengan Agung. Semenjak itu, Agung mulai mundur dan
menghindar. Naya merasakan kehilangan yang luar
biasa. Naya sempat meyakinkan Agung, bahwa ia akan menyelesaikan
hubungannya dengan Billy. Namun, tidak pernah ia buktikan.
“Mami sama oma nanyain lagi masa depan hubungan
kita.”
“Terus kamu bilang apa?”
“Kamu udah tau kan konsekuensinya apa? Aku gak mau pindah.
Kalo kamu serius, ayo ikut aku. Kamu yang pindah.” Billy berusaha tenang
membicarakan kelanjutan hubungannya dengan Naya.
“Pindah? Bisa digantung aku sama Mama, Bebh”
“Sekarang putusin mau kamu kaya gimana? Cape kan
pacaran kaya gini. Percuma kita pacaran lama, tapi ujungnya gak jelas!” Billy
mulai emosi. Nada suaranya meninggi.
“Kamu mau hubungan ini lanjut atau enggak? Itu aja
intinya. Kalo kamu mau serius, aku siap. Tapi kalo enggak, mending kita
selesaikan semua baik-baik.”
Naya menangis sejadi-jadinya.
Dua bulan kemudian Billy mengambil keputusan. Ia
memilih tidak melanjutkan hubungannya dengan Naya dengan alasan masalah
keyakinan yang selalu menemui jalan buntu. Keputusan Billy membuat Naya patah
hati. Tidak hanya patah, tapi mungkin remuk dan lebur.
Lima bulan berjalan. Naya mencoba untuk move on. Ia mulai mencoba menghubungi
Agung lagi.
“Makasih ya Nay. Kamu udah pernah jadi yang spesial untuk
aku. Maaf aku pilih mundur. Aku harap kamu bisa bahagia dengan Billy. Aku
sekarang udah punya seseorang. Aku harap dia bisa gantiin posisi kamu.”
Pesan singkat yang diterima Naya ketika menanyakan
kabar Agung membuatnya semakin merana.
“Nyesel kan lo sekarang? Coba aja dulu lo bisa tegas
sama perasaan lo. Mungkin gak akan hilang semuanya.”
Naya menghela nafas. Dalam hati ia membenarkan
perkataan Arni.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Posting Komentar