Kami Juga Ingin Sekolah. (Suara Hati Anak-Anak Marjinal)

Ditulis Oleh : Irni Ristika Sari
Kelas          : 4EA10
NPM          : 10208659

Kami Juga Ingin Sekolah.
 (Suara Hati Anak-Anak Marjinal) 


      Pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Pendidikan tidak hanya membuat kita menjadi pintar tapi dapat membuat hidup kita menjadi terarah. Dengan pendidikan, kita dapat mewujudkan segala mimpi dan cita-cita. Pendidikan formal dimulai ketika kita duduk dibangku sekolah dasar sampai dengan tingkat sekolah menengah atas (SMA).
      Tapi tahukah kita? Bahwa di Negara kita, di Negara yang katanya kaya ini, Negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah, ternyata masih banyak penerus bangsanya yang belum atau mungkin tidak pernah merasakan seperti apa pendidikan formal. Mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah. Bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena keadaan yang memaksa mereka untuk melupakan segala mimpi dan cita-cita.
     Seperti yang kita ketahui, bahwa masalah kemiskinan seolah menjadi masalah utama di Negara ini. Faktor kemiskinan jugalah yang membuat ratusan anak Indonesia, buta akan dunia pendidikan. Mereka dibiarkan seharian berada dijalanan untuk mencari nafkah, untuk mengisi perut-perut mereka yang lapar. Mereka seolah kehilangan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan. Padahal bukankah “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan?”. Lalu bagaimana dengan mereka? anak-anak Indonesia yang hidup di jalanan, anak-anak marjinal yang terlahir dengan kondisi ekonomi yang tidak mencukupi. Apakah mereka tidak layak mendapatkan itu semua?. Ironis.
      “Kami juga ingin sekolah!”. Kalimat itu mungkin sering diucapkan oleh anak-anak jalanan dan anak-anak kaum marjinal tersebut. Tanpa kita pernah dengar dan tanpa kita semua tahu.  
Seiring berjalannya waktu, kesempatan mereka untuk mendapatkan atau mungkin hanya sekedar mengenal pendidikan seakan semakin tertutup. Mahalnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun merupakan penyebab utama. Terkesan bahwa anak-anak dari kaum marjinal tidak berhak mendapatkan pendidikan.
     Padahal Sejak 2009, pemerintah mengklaim telah memenuhi amanat UUD 1945 dengan mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Meski total dana pendidikan minimal sekitar Rp 200 triliun per tahun dibagi-bagi ke berbagai kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah, dan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) hanya mengelola Rp 50 triliun sampai Rp 60 triliun, kenaikan anggaran pendidikan cukup signifikan. Bahkan sebelum amanat itu dipenuhi, sejak 2005 pemerintah telah meluncurkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk menunjang program wajib belajar (wajar) sembilan tahun. 
     Sayangnya, di tengah kenaikan anggaran pendidikan dan besarnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan dasar dan menengah, masih terdapat anak Indonesia yang putus sekolah. Kita tercengang mengetahui jumlah anak SD sampai SMA yang putus sekolah pada 2010 mencapai 1,08 juta. Angka itu melonjak lebih dari 30 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 750.000 siswa. Tak hanya itu, masih ada 3,03 juta siswa yang tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, SMA, dan perguruan tinggi. 
Program sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP yang didengungkan pemerintah, ternyata belum sepenuhnya terealisasi.
      Seandainya pemerintah sedikit lebih peka dan peduli terhadap nasib pendidikan anak-anak marjinal, mungkin mereka tidak akan kehilangan hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Karena bagaimanapun juga merekalah penerus bangsa, mereka lah yang menentukan nasib bangsa ini dikemudian hari.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer